BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Telah
menjadi sesuatu yang dimaklumi, bahwa mencari ilmu dan berusaha untuk
memperolehnya merupakan satu bentuk upaya untuk mendekatkan diri kepada ALLAH
Swt. Dengan mencari ilmu, seseorang akan
berdiri diatas keyakinan dan bukti. Ia juga akan memperoleh anugerah yang agung
denganya. Di dunia, ia akan memperoleh taufik, sedangkan di akherat kelak ia
akan memperoleh derajat yang tinggi. Setiap penuntut ilmu merindukan
untuk menjadi penuntut ilmu yang baik, walaupun tidak selalu diikuti oleh
kesediaan dalam menempuh jalan kesuksesan. Sebagaimana setiap penuntut ilmu
tidak menginginkan dirinya menjadi atau tergolong sebagai penuntut ilmu yang
gagal. Untuk itu dalam mencari ilmu butuh kesungguhan,
runtutan, dan aturan, maka para pencari ilmu layaknya mengetahui aturan dan
juga factor-faktor pendukungnya. Harapanya dengan hal itu akan membantu mereka
dalam memperoleh ilmu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Etika itu?
2. Apa Pengertian Ilmu?
3. Bagaimana Etika dalam menuntut ilmu?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memenuhi tugas penulisan Makalah mata kuliah Tafsir
Tarbawi;
2. Untuk mengetahui Etika dalam menuntut Ilmu.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui pengertian Ilmu;
2. mengetahui Etika dalam menuntut Ilmu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa
Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya
yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara
berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk
jamak inilah yang mela
ar-belakangi
terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti
yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan
(K.Bertens, 2000).
Etika merupakan
suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat
dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran yang
kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa
keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan.
B. Pengertian Ilmu
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari kata al-‘ilmu dalam bahasa
Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu
adalah bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima – ya`lamu- `ilman. Dijelaskan
bahwa lawan kata dari
al-‘ilmu adalah al-jahl
(bodoh/tidak tahu). Sehingga jika dikatakan alimtu
asy-syai’a berarti “saya mengetahui sesuatu”.
Sementara secara istilah
(terminologi) ilmu berarti pemahaman tentang hakikat sesuatu. Ia juga merupakan
pengetahuan tentang sesuatu yang diketahui dari dzat (esensi), sifat dan makna
sebagaimana adanya. Sedangkan dalam kitab Tafsir Aisar at-Tafaasir dijelaskan bahwa:
الْعِلْمُ
سَبِيْلُ الْخَشْيَةِ فَمَنْ لَا عِلْمَ لَهُ بِاللهِ فَلَا خَشْيَةً لَهُ
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءِ
“Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang tidak
mengenal Allah, maka dia
tidak mempunyai rasa takut pada-Nya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah
diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”.
Penjelasan di atas berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat Fathir ayat 28,
yaitu:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.
Adapun yang dimaksudkan dengan al-Khasyyah (rasa takut) menurut
Sa`id bin Jubair adalah sesuatu yang menghalangi
antara engkau dengan maksiat kepada Allah SWT.
C.Etika dalam menuntut ilmu
Dalam mencari Ilmu ada beberapa adab atau
Etika yang perlu diperhatikan oleh para penuntut Ilmu, Agar mendapatkan keberkahan
saat mencari maupun saat mengamalkan ilmunya diantaranya adalah:
a. Ikhlas
Ikhlas merupakan kunci sukses yang pertama dan mendasar dalam upaya seseorang
mewujudkan cita-citanya meraih ilmu yang bermanfaat. Karena hanya dengan dasar
ikhlas, segala tindakan kebaikan yang dilakukan akan menjadi amal shalih yang
layak mendapatkan balasan kebaikan dari Allah, Tuhan semesta alam. Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata :
Tidaklah diragukan lagi, bahwa menuntut ilmu adalah sebuah ibadah, bahkan
ia merupakan ibadah yang paling mulia lagi utama. Maka oleh karenanya, wajib
atas seorang penuntut ilmu harus memenuhi syarat diterimanya ibadah, yaitu
ikhlas. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Bayyinah ayat 5:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
Juga hadits Nabi SAW ;
مَنْ تَعَلَّمَ اْلعِلْـمَ لِيُبَـاهِي بِهِ
اْلـعُلَمَاءَ وَيُجَـارِيْ بِهِ السُّفَهَـاءَ وَيَصْرِفُ بِهِ وُجُـوْهُ
النَّـاسَ إِلَيْـهِ أَدْخَلَـهُ اللـهُ جَهَنَّـمَ
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan para
ulama, mempermainkan diri orang-orang bodoh dan dengan itu wajah orang-orang
berpaling kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam. “ (HR. Ibn Majjah dari sahabat Abu Hurairah).
b.
Berdo`a
Dalam Islam, seorang penuntut ilmu disamping didorong untuk berusaha Allah
SWT memerintahkan kepada penuntut ilmu untuk berdo’a dengan do’a. Sebagaimana
tersebut dalam firman-Nya Surat Thaha ayat 114:
“Dan katakanlah ,”Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”.
Rasulullah juga mengajarkan sebuah do’a khusus bagi para penuntut ilmu.
Do’a itu adalah:
اللهُمَّ إنِّـيْ أَسْأَلُكَ
عِلْماً نَافِعـاً، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَايَنْفَـعُ
“Ya Allah sesungguhnya aku
memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan Aku berlindung kepada Engkau dari
(mendapatkan) ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Al-Nasa’i dari sahabat Jabir bin Abdillah ra).
Dalam hadits yang lain,
Rasulullah SAW. mengajarkan do’a yang sedikit berbeda untuk para penuntut ilmu.
Do’a itu adalah:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ
عِلْمًا نَافِعًا وَ رِزْقًا طَيِّباً وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat,
rizki yang baik serta amal yang diterima. (HR. Ibn Majjah dari
shahabiyah Ummu Salamah ra).
c. Bersungguh-Sungguh
Termasuk juga kunci sukses dalam menuntut ilmu adalah bersungguh-sungguh dan diniatkan untuk mencari keridhaan Allah. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an
Surat al-Ankabut ayat 69:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”
Seorang penuntut ilmu memerlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut
ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang
bermanfaat-dengan izin Allah-apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.
Sebab jika seorang penuntut ilmu malas maka ia tidak akan mendapatkan ilmu yang
dicarinya, sebagaimana pendapat Yahya bin Abi Katsir rahimahullah bahwa ilmu
tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (santai). Karena itulah
dalam ayat di atas Allah menjanjikan kabar gembira dan kemuliaan bagi orang
yang bersungguh-sungguh. Syaikh Abu Bakar al-Jazairy menjelaskan: “Di
dalam ayat ini terdapat busyra dan janji yang benar lagi mulia, demikian
itu karena orang yang bersungguh-sungguh berada di jalan Allah,
karena mencari ridha Allah dengan berusaha untuk meninggikan kalimat-Nya”.
Maka tak heran jika para ulama terdahulu selalu bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu. Sebagai contoh, kisah Imam Syafi`i rahimahullah dalam
menuntut ilmu. Beliau berasal dari keluarga yang fakir, namun hal itu tidak
dianggap aib oleh beliau, justru sebaliknya, dijadikan sebagai kekuatan yang
dapat mendorongnya untuk senantiasa menuntut ilmu.
Imam Syafi’i, sebagaimana yang
dikisahkan Humaidi, pernah bercerita :
Aku adalah seorang anak yatim yang berada dalam pengayoman ibu, ia selalu
mendorongku untuk hadir ke majelis ilmu. Guru sangat sayang pada aku,
sampai-sampai aku menempati tempatnya ketika ia berdiri. Tatkala aku sudah
merapikan Al-Qur’an, kemudian aku masuk ke dalam masjid dan duduk bersama
para ulama. Di sana aku mendengarkan hadits beserta rinciannya kemudian aku
hafal semuanya. Ibuku tidak dapat memberikan kepadaku sesuatu yang dengannya
aku dapat belikan kertas. Aku melihat tulang maka aku ambil, kemudian aku
menulisnya, tatkala sudah penuh, maka aku menghafalnya sekuat tenagaku.
d. Menjauhi Kemaksiatan
Syarat lain bagi penuntut ilmu yang ingin sukses adalah menjauhi
kemaksiatan. Syarat ini merupakan syarat unik yang hanya dimiliki oleh agama
Islam. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah rahimahullah misalnya berkata:
Maksiat memilki pengaruh jelek lagi tercela, dan juga dapat merusak hati
dan badan baik di dunia maupun di akhirat. Diantara bahaya dari maksiat antara
lain: Terhalangnya mendapatkan ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya
yang telah Allah berikan di dalam hati, dan maksiat itu memadamkannya (cahaya
itu).
Pengaruh kemaksiatan terhadap terhalangnya ilmu pernah terbukti menimpa
Imam Syafi’i. hal ini terlihat dari pengaduan Imam Syafi’i kepada salah seorang
gurunya yang bernama Waki’. Kisah ini diceritakan Imam Syafi’i dalam sebuah
syair berikut:
شَكَوْتُ إِلَىْ وَكِيْـعٍ سُوْءَ
حِفْظِيْ
فَأَرْشَـدَ نِيْ
إِلَىْ تَـرْكِ اْلمَعَـاصِيْ
وقَالَ: اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ
نُـــــوْرٌ وَفَضْلُ
اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ عَـاصِ
Aku mengadu kepada guruku bernama Waqi’, tentang jeleknya hafalanku, maka
ia memberikan petunjuk kepadaku agar meninggalkan kemaksiatan. Karena
sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah itu tidak
akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”.
Demikian juga nasihat Imam Malik
kepada Imam Syafi’i. ia berkata:
إِنِيْ أرى اللهَ قَـدْ جَعَلَ
فِيْ قَلْـبِكَ نُوْراً فَلاَ تُطْـفِئْهُ بِظُلْـمَةِ
مَعْصِيَةٍ
“Sesungguhnya aku melihat pada hatimu pancaran cahaya, maka jangan engkau
redupkan cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan.”.
e. Tidak Malu dan Tidak Sombong
Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama
kedua sifat itu masih ada dalam dalam dirinya. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu
‘Anha pernah berkata tentang sifat malu para wanita Anshor:
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ
الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka
untuk memperdalam ilmu agama. (HR. Bukhari)
Artinya sekalipun wanita anshar merupakan sekelompok perempuan yang
memiliki rasa malu yang tinggi sebagai cerminan keimanan mereka, namun hal itu
tidak berlaku dalam menuntut ilmu. Sebab rasa malu dalam menuntut ilmu dapat menyebabkan
kekeliruan atau ketidakjelasan. Seseorang yang malu bertanya dalam menuntut
ilmu akan menyebabkan ia tidak mendapatkan penjelasan dari hal-hal yang masih
samar atau meragukan baginya. Karena itu agar seorang penuntut ilmu mendapatkan
penjelasan yang terang dan ilmu yang pasti maka ia harus memberanikan diri
bertanya mengenai permasalahan yang belum jelas ataupun belum meyakinkan bagi
dirinya.
Sementara mengenai larangan sombong, Allah SWT. jelaskan dalam Surat
al-Baqarah ayat 34:
Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat : Sujudlah kamu
kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabbur dan
adalah ia termasuk golongan orang–orang yang kafir.
Kesombongan dalam menuntut ilmu dilarang sebab ia akan menyebabkan
tertolaknya kebenaran. Seorang yang sombong akan cenderung merendahkan manusia
lainnya dan menolak kebenaran, sehingga ia akan kesulitan untuk mendapatkan
guru dan ilmu. Orang sombong akan merasa dirinya selalu lebih baik dari orang
lain sehingga tidak lagi memerlukan tambahan ilmu. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan Rasulullah dalam salah satu sabdanya:
اَلْكِبْرُ بَطَرُ اْلحَقِّ
وَغَمْطُ النَّاسِ
“ Sombong itu adalah, menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim dari
sahabat Ibn Mas’ud ra)
f. Mengamalkan dan
Menyebarkan Ilmu
Di dalam ajaran Islam, ada tiga
perintah yang saling bertautan kepada para penuntut ilmu. Perintah itu adalah
mencari ilmu, mengamalkan dan menyampaikannya kepada orang lain. Trilogi
menuntut ilmu ini tidak boleh lepas dari diri seseorang, sebab antara satu
dengan yang lainnya mempunyai shilah (hubungan) yang erat. Islam
mensyariatkan wajibnya menuntut ilmu atas setiap muslim, dan di sisi lain ia
juga memerintahkan agar ilmu yang sudah diketahui harus diamalkan dan
dida’wahkan kepada orang lain. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan
keutamaan orang yang mengamalkan ilmu dan menda’wahkannya, dan banyak pula nushûsh
yang berbicara tentang ancaman orang yang tidak mau mengamalkan dan
menda’wahkan ilmunya. Mengenai keutamaan menda’wahkan ilmu, misalnya dapat disimak
dari sabda Nabi SAW. berikut ini:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Siapa orang yang menunjukkan kebaikan, maka baginya pahala seperti orang
yang melakukkannya”(HR. Tirmidzi dari sahabat Abi
Mas’ud ra).
Dalam hadits di atas, Rasulullah
memberikan dorongan berupa janji pahala bagi orang yang mengajarkan ilmunya.
Pahala itu berupa kebaikan semisal kebaikan yang didapat oleh orang yang
diajari ilmu olehnya dari ilmunya itu.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
mencari ilmu
butuh kesungguhan, runtutan, dan aturan, maka para pencari ilmu layaknya
mengetahui aturan dan juga faktor-faktor pendukungnya. Harapanya dengan hal itu
akan membantu mereka dalam memperoleh ilmu.
B.SARAN
Etika atau
adab dalam menuntut ilmu harus kita
ketahui agar ilmu yang kita tuntut berfaidah bagi kita dan orang yang ada di
sekitar kita, sehingga kita memperoleh derajat tinggi baik di dunia maupun di
akherat.
DAFTAR
PUSTAKA
Penyusun, Tim, 1980. Majma` al
Lughah al-Arabiyah, al Mu`jam al-Wasith, Cairo.
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir,
2001. Ilmu dan ulama, Jakarta, Pustaka Azam.
Al-Jazairi, Abu Bakar bin Jabir,
2003. Aisar at-Tafâsir li al-Kalam al-`Aliy al-Kabîr, Madinah Al
Munawwarah, Maktabah al ‘Ulum al Hikam.
Ishaq al-Shekh, Abdullah bin
Muhammad bin Abdurrahman, 2004. Lubab at-Tafsir min Ibni Katsir,
terj. Jakarta, Pustaka Imam Syafi`i.
Al-Jauziyah, Ibn
al-Qayyim, 1999. Buah Ilmu, Jakarta, Pustaka Azzam.
RI, Departemen Agama, 1997. Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Saudi Arabia, Mujamma’ Al Malik Fahd li Thiba’at al Mushaf
As Syarif Manidah Munawwarah.
Shihab, M. Quraish, Membumikan
Al-Qur`an: Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
Jakarta, Penerbit Mizan.
Katsir, Ibn, 1999. Tafsir
al-Qur’ân al-Adhîm, tahqiq, Sami bin Muhammad Salamah, Saudi Arabia, Dar at
Thayyibah.
Al-Naisaburi, Muslim bin
al-Hajjah Abu al-Hasan al-Qusyairi, tt. Shahîh Muslim, Beirut, Dâr Ihyâ’
At Turâts.
Alu Sa’di, Abdurrahman bin Nashir
bin Abdullah bin Nashir bin Muhammad, 2002. Bahjatu Qulûbi al-Abrar wa
Qurratu ‘Uyûn al-Akhyar fî Syarhi Jawami’ al Akhyar, Saudi Arabia, Maktabah
Ar Rusyd.
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman
bin al-Asy’ab bin Ishaq, tt. Sunan Abi Dawud, tahqiq, Muhammad Muhyiddin
Abu Hamid, Beirut, Maktabah al ‘Asyrîyah.
Al Qazwaini, Ibn Majah Abu
Abdillah Muhammad bin Yazid, tt. Sunan Ibn Majjah, Saudi Arabia, Dâr
Ihya al-Kitab al-‘Arabiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar